JellyPages.com

Kamis, 05 November 2015

Masalah Makan dan Minum



Saudaraku yang dirahmati Allah
Sebenarnya, dalam mewujudkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya itu tidaklah sulit. Tidak harus langsung dengan aksi yang besar atau muluk-muluk. Jika berangkat dari hal-hal yang kecil itu sudah menjadi dasar perwujudan cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya, mengapa tidak.
Seperti halnya, ketika kita makan dan minum. Jika menelisik adab makan-minumnya Rasulullah maka yang ada adalah makan dan minum itu tidak boleh sambil berdiri. Hendaknya duduk, tegak, tidak bersandar. Kenapa ? agar makanan dan minuman itu dapat dicerna dengan sempurna sehingga mengurangi risiko terjadinya penyakit. Sebab sudah diterangkan dalam QS. An Nisa’ : 59 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),…” berdasarkan ayat tersebut, makan dan minum sesuai adabnya itu sudah sekaligus menaati perintah Allah dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi nabiyyil ummiy wa alihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi nabiyyil ummiy wa alihi wa sallam pun bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barangsiapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memunatahkannya.” (HR.Ahmad). Dalam riwayat lain Beliau juga bersabda bahwa sesungguhnya aku tidak makan sambil bersandar.” Lagipula , duduk bersandar itu sepertinya duduknya orang-orang yang sombong. Na’udzubillahi min dzalik.
Kanjeng Rasul saja sudah memberikan contoh sedemikian baiknya sekaligus menyehatkan, apakah kita sebagai umat Beliau tidak ingin meniru? Meskipun terlihat masalah sepele, namun tidak bagi orang yang benar-benar ingin mewujudkan cinta dan mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi nabiyyil ummiy wa alihi wa sallam dalam segala aktivitasnya.

Salam semangat cinta saudaraku
Annisa El Muna

Cara Ber-Tuhan



Saudaraku yang dikasihi Allah
Tahukah kalian bahwa dalam berTuhan itu, tidak memerlukan cara yang ribet-ribet, Gus Dur bilang, “Gitu aja kok repot.”. Allah memang menuntut haknya sebagai Tuhan. Tetapi kita sebagai makhluk punya cara tersendiri untuk memenuhi hak-Nya. Bagaimana?
Begini, dalam aspek berdo’a, ia terlaksana tidak hanya ketika kita akan wudhu, wudhu, selesai wudhu, shalat, selesai sholat, mau makan, selesai makan, mau masuk kamar mandi, keluar kamar mandi, dll. Tetapi dalam setiap aktifitas kita, jika kita mau meresapi makna berdo’a lebih dalam maka yang ada adalah bahwa setiap yang kita lakukan juga termasuk ladang berdo’a. Seorang penulis mengekspresikan caranya berTuhan dengan tulisan termasuk bermaksud berdo’a agar atas apa yang ia baca, lihat, dengarkan, tidak lantas lenyap begitu saja tanpa tilas. Ia berdo’a agar apa yang ia tulis bisa menjadi bahan untuk ia mengulang-ngulang kembali apa yang sudah ia temukan dari melihat, membaca, mendengarkan, dll. Juga dalam harap tak wujud, tulisan itu semoga saja bisa manfaat bagi khalayak. Seorang yang tahu hari sudah mendung, kemana ia hendak pergi masuk akalnya ia membawa payung. Hujan pun turun, pastinya payung itu terpakai. Nah, dalam konteks ini, orang tersebut dalam makna yang lebih dalam, termasuk melakukan sebuah permintaan, menyeru, berdo’a agar ia tidak kehujanan. Sederhananya, orang tersebut meskipun tanpa sadar sudah memenuhi hak Tuhannya. Sehingga, dengan memakai payung, hujan tidak akan membuatnya kuyup.
Ada juga, ia yang penyair menyebut  puisi sebagai ekspresi do’a paling lembut. Sebab menurutnya, paham bercakap dengan Tuhan melalui puisi mampu menyimpan hasrat paling pasrah atas keharap-cemasannya. Lalu terpetik satu ayat dalam QS. Al Baqarah: 185,”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”. Sebegitu sayangnya Allah kepada manusia sebagai mukallaf, sehingga dalam melaksanakan syari’at tidak dituntut pelaksanaan diluar kesanggupannya.
Bukankah dalam do’a yang tersirat dari segenap aktivitas manusia termasuk usaha dalam memenuhi hak Tuhannya ?
Salam istiqomah kawan… :-)

Menggugat Bukti Janji Dalam Orasi



Selamat malam ... Pekat kelam ...
Pada waktumu ijinkan aku menyusun kalam
Sebagai perwujudan rasa
yang tak mampu digenggam
Pagi tadi
Embun turun beruntun menyapa mentari
Serupa hamba yang tulus mengabdi pada Penciptanya
Namun hari teramat panjang
Hingga pesona senja tak kunjung mengembang
Dan pada siang yang menyengat
Ku temukan serangkai tutur tentang negeriku
Tentang nasib rakyat yang tersayat
Di puncak-puncak gedung itu
Ada gemerlap kesenangan yang menggoda
Sedang di lorong-lorong jalan
Tiap jiwa jelata memikul deritanya masing-masing
“Aduhai pemimpin yang berdasi, daripada kau muntab dalam ruang debat, ada baiknya kau perhatikan kami saja. Kami menunggu pembuktian dari deklarasi yang pernah kau gemborkan dalam orasi-orasimu !” ujar kakek tua penjual Koran
Aku tertawan dalam diam
Tertegun dalam tafakkur
Menelusuri hakikat kepemimpinan
Apa mereka lupa dengan Indonesia, khususnya pada rakyat?
Aku rasa tidak
Lihat saja, mereka masih memperbincangkan tentang Indonesia maju, peningkatan sumber daya manusia, hubungan internasional, pemanfaatan sumber daya alam
Lalu, apa yang salah ?
Ah, dasar sifat manusia
Esensi manusia tempat lepat dan lupa
Seringkali jauh dari ingatan untuk dikaji
Mereka rakyat jelata menginginkan realisasi atas orasi
Bukan sekedar kata yang terangkum dalam kalimat bernafas janji
Atau mungkin ini hanya isyarat
Dari penafsiran yang belum tuntas
Bahwa deklarasi bukan menujukkan kekuatan

BERDZIKIR



Batu-batu … berdzikir
Air yang menetes, mengalir … berdzikir
Udara yang kuhirup … berdzikir
Cahaya matahari … berdzikir
Gunung-gunung … berdzikir
Desau angin … berdzikir
Lautan … berdzikir
Kutoleh semua benda di sekelilingku …
Mereka berdzikir
Berdzikir dan berdzikir …

Firman Allah :

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.
QS Al-Israa' [17]:44



Salatiga, 11-Nov-2014