Aku
tak paham dengan paragraf macam apa harus kumulai suatu baris untuk menyusun ulang
kenangan tentangmu, yang kini hampir kabur, aku menemu kesulitan setiap kali
hendak memulai menulis sejenis ''alenia'' untukmu. Sebab justru, ternyata lebih
indah kuurai dengan cara memejamkan mata sambil menyebut namamu. Bagiku, yang
demikian jauh lebih mendebarkan ketimbang cuma kata-kata.
Namun,
kesadaran sebagai manusia bahwa seluruh yang silam perlahan akan pudar dari ingatan,
maka inilah tanggungjawab seorang aku untuk menuangkan angan ke dalam tulisan,
menjelmakan perenungan menjadi sebuah tulisan. Aku tahu bahwa tidak semua pernyataan
harus diungkap melalui retorika, pun ketika kita berjarak namun cuma dengan aksara
aku sanggup mengisahkan bagaimana degup jantungku selama ini.
^^^***
Jika
menurutku bukti setiap kasih itu tidak semestinya diungkap dengan tutur laku nyata
maka kata-kataku lalu menjelma menjadi seorang gadis pemalu untuk sekedar berhadapan
dengan manik netramu. Malu-semalunya.Terlalu terang, sunyi tapi penuh khusyuk.
Jika aku bertanya apakah cinta kasihku layak
untukmu? Itu juga hampir rmendekati retoris. Maka aku jawab sendiri saja, mencintaimu
adalah kebutuhan, sebagaimana hidup perlu bernafas, tanpa di kehendaki pun akan
berhembus dengan sendirinya. Seperti ketika tidur. Mengingatmu adalah upaya untuk
melahirkan rindu, aku butuh rindu untuk hidup, itulah sebabnya, melupakanmu sesaat
adalah kematian hakekat.
Hingga
jauh sebelum tiba wayahmu, aksaraku sudah berjajar rapi, layaknya shaf persembahyangan,
ia menjadi saksi bisu untuk jejamuan pada Celebration of Yuswa. 7, aku menamainya
sajak 7. Special for you, tapi tidak untukkau baca, punten, sebab ia (aksara)
dan aku terlalu malu, sekali lagi untuk berserah padamu.
Salatiga, 17 Agustus 2014