JellyPages.com

Jumat, 05 Desember 2014

Aforisma seorang aku

Aku tak paham dengan paragraf macam apa harus kumulai suatu baris untuk menyusun ulang kenangan tentangmu, yang kini hampir kabur, aku menemu kesulitan setiap kali hendak memulai menulis sejenis ''alenia'' untukmu. Sebab justru, ternyata lebih indah kuurai dengan cara memejamkan mata sambil menyebut namamu. Bagiku, yang demikian jauh lebih mendebarkan ketimbang cuma kata-kata.
Namun, kesadaran sebagai manusia bahwa seluruh yang silam perlahan akan pudar dari ingatan, maka inilah tanggungjawab seorang aku untuk menuangkan angan ke dalam tulisan, menjelmakan perenungan menjadi sebuah tulisan. Aku tahu bahwa tidak semua pernyataan harus diungkap melalui retorika, pun ketika kita berjarak namun cuma dengan aksara aku sanggup mengisahkan bagaimana degup jantungku selama ini.

^^^***
Jika menurutku bukti setiap kasih itu tidak semestinya diungkap dengan tutur laku nyata maka kata-kataku lalu menjelma menjadi seorang gadis pemalu untuk sekedar berhadapan dengan manik netramu. Malu-semalunya.Terlalu terang, sunyi tapi penuh khusyuk.
Jika aku bertanya apakah cinta kasihku layak untukmu? Itu juga hampir rmendekati retoris. Maka aku jawab sendiri saja, mencintaimu adalah kebutuhan, sebagaimana hidup perlu bernafas, tanpa di kehendaki pun akan berhembus dengan sendirinya. Seperti ketika tidur. Mengingatmu adalah upaya untuk melahirkan rindu, aku butuh rindu untuk hidup, itulah sebabnya, melupakanmu sesaat adalah kematian hakekat.

Hingga jauh sebelum tiba wayahmu, aksaraku sudah berjajar rapi, layaknya shaf persembahyangan, ia menjadi saksi bisu untuk jejamuan pada Celebration of Yuswa. 7, aku menamainya sajak 7. Special for you, tapi tidak untukkau baca, punten, sebab ia (aksara) dan aku terlalu malu, sekali lagi untuk berserah padamu.

Salatiga, 17 Agustus 2014